Murah Tapi Tak Terbeli, Muzaidah : Potret Ironi Ekonomi di Negeri Sendiri

OPINI

Oleh: Muzaidah (Aktivis Dakwah Muslimah)

Medan, Perpek Media – Kondisi pasar tradisional di Medan makin memprihatinkan. Aktivitas jual beli yang biasanya ramai kini jauh menurun. Para pedagang mengeluhkan sepinya pembeli, meskipun harga-harga seperti tomat, cabai, dan bawang merah mengalami penurunan. Penurunan harga ini bukan disebabkan oleh efisiensi produksi atau surplus yang sehat, melainkan karena lemahnya permintaan dari masyarakat. “Orang-orang memang tidak punya uang,” keluh seorang ibu paruh baya– pedagang sayur yang sudah belasan tahun berjualan. Ini bukan hanya masalah lokal, tetapi gejala krisis ekonomi sistemik yang melanda berbagai daerah.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Medan. Banyak pedagang di kota-kota lain mengalami hal serupa. Turunnya harga bahan pokok bukan karena keberhasilan distribusi atau kelebihan produksi yang sehat, tetapi karena permintaan masyarakat melemah. Hal ini menandakan daya beli masyarakat benar-benar runtuh. Situasi ini menjadi salah satu indikator dari krisis ekonomi yang tidak sekadar bersifat musiman, tetapi sudah sistemik. Ironisnya, meskipun harga pangan murah, banyak yang tetap tak mampu membelinya. Inilah potret nyata masyarakat yang semakin terhimpit oleh tekanan ekonomi.

Belanja masyarakat pun belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Harga daging ayam kini hanya sekitar Rp30.000,00/kg, bahkan di tingkat peternak bisa anjlok ke Rp17.000,00/kg. Harga cabai merah juga turun karena melimpahnya pasokan (Liputan6.com, 23/4/2025). Di pasar tradisional, harga ayam broiler hanya Rp24.000,00–Rp25.000,00/kg, namun harga kontrak peternak tetap tinggi, menyebabkan mereka merugi (medan.pikiran-rakyat.com, 21/4/2025). Pasokan cabai dari luar Sumatera Utara juga menambah stok di pasar, sementara hasil panen dari dataran tinggi menurun (pikiranrakyatmedan.com, 22/2/2025). Ini menunjukkan ketidakseimbangan antara produksi dan distribusi yang gagal dikelola oleh negara secara efektif.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan pada Maret 2025 mencapai 3,12%, namun daya beli masyarakat tetap belum pulih. Konsumsi rumah tangga masih rendah, terutama di kalangan menengah ke bawah. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan pemerintah hanya bersifat semu dan tidak menjangkau realitas hidup rakyat kebanyakan. Ketika pendapatan masyarakat stagnan bahkan menurun, kebutuhan pokok pun menjadi beban. Masyarakat enggan membeli bukan karena tidak membutuhkan, melainkan karena tidak mampu. Akibatnya, roda ekonomi makin lambat, para produsen merugi, stok barang menumpuk, dan lingkaran krisis terus berputar tanpa solusi yang nyata.

Jika ditelusuri lebih dalam, akar dari persoalan ini adalah sistem ekonomi kapitalis yang saat ini diterapkan. Pemerintah lebih fokus pada pencapaian angka-angka makro seperti pertumbuhan PDB, tanpa benar-benar memperhatikan apakah rakyat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Ketika krisis datang, solusinya bersifat jangka pendek seperti bantuan sosial, pasar murah, atau stimulus sesaat, bukan perubahan sistemik yang menyentuh akar permasalahan. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai fasilitator ekonomi, bukan pelindung rakyat. Pasar dibiarkan menentukan segalanya, bahkan ketika pasar itu merugikan rakyat kecil.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang ekonomi sebagai alat untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu secara menyeluruh dan adil. Negara bertanggung jawab penuh dalam mengatur dan mengelola kekayaan demi kesejahteraan seluruh rakyatnya.

Dalam sistem Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga: individu, negara, dan umum. Pangan sebagai kebutuhan pokok termasuk dalam kepemilikan umum yang wajib dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya oleh negara. Jika harga turun akibat kelebihan pasokan dan melemahnya permintaan, negara tidak boleh diam, tetapi wajib turun tangan untuk menstabilkan kondisi dan menjamin kesejahteraan pelaku usaha kecil.

Islam juga melarang penumpukan kekayaan di segelintir orang. Allah Swt. berfirman:
“…agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem ekonomi Islam, negara memiliki kewajiban untuk memastikan distribusi kekayaan yang adil dan merata, menghindari penguasaan harta oleh segelintir orang saja yang akan memperburuk kesenjangan sosial.

Islam juga memiliki mekanisme distribusi kekayaan yang adil dan sistemik. Zakat, infak, dan sedekah bukan sekadar ibadah individual, tetapi bagian dari sistem ekonomi yang mengatur sirkulasi kekayaan agar tidak hanya berputar di kalangan orang kaya. Dana zakat dikelola oleh Baitul Mal dan disalurkan kepada yang berhak, termasuk mendukung usaha rakyat kecil. Bahkan sejarah mencatat, ketika terjadi krisis pangan, Khalifah Umar bin Khattab secara langsung mengatur distribusi makanan dari wilayah yang kelebihan pasokan ke wilayah terdampak. Negara bertindak aktif menyelesaikan krisis, bukan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Islam hadir dengan solusi yang sistemik. Negara Islam wajib menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, mendorong sektor riil seperti pertanian dan perdagangan, serta menghapus praktik-praktik ekonomi spekulatif dan riba yang hanya memperkaya segelintir elit.
Dalam sistem ini, kekayaan tidak menumpuk, tetapi didistribusikan agar kehidupan masyarakat berjalan seimbang. Negara bukan sekadar pengatur, tetapi pelaksana langsung kebijakan ekonomi yang melindungi rakyat dari ketimpangan dan kesenjangan.

Lesunya daya beli dan anjloknya harga pangan yang tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat adalah cermin gagalnya sistem kapitalis dalam menyejahterakan rakyat. Saat rakyat tidak mampu membeli meskipun harga murah, dan para petani serta pedagang pun merugi karena barang tak laku, maka jelas sistemnya yang bermasalah.

Sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang terbukti gagal dan kembali pada sistem yang berasal dari Allah Swt., sistem yang memuliakan manusia dan menjamin kehidupan secara menyeluruh, Wallahualam bissawab. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *