OPINI
Oleh : Indri Nur Adha (Aktivis Muslimah)
Fenomena ini mencerminkan betapa buruknya kondisi perlindungan terhadap anak saat ini.
Medan, Perpek Media – Ketika dewasa dan menghadapi berbagai masalah, kita sering kali membayangkan betapa indahnya masa kanak-kanak. Masa di mana kita bebas bermain, mencoba banyak hal, serta merasakan kasih sayang dan perlindungan dari orang-orang terdekat. Namun, realitas hari ini begitu pahit. Masa kanak-kanak yang seharusnya penuh kebahagiaan justru hancur oleh trauma tragis yang menimpa mereka. Ke mana lagi kita harus mencari perlindungan bagi anak-anak kita?
Kasus kejahatan seksual terhadap anak kembali terjadi di Medan, Sumatera Utara. Seorang anak berusia 7 tahun menjadi korban pelecehan oleh kakek tirinya yang berusia 45 tahun berinisial TS. Kecurigaan sang ibu muncul ketika anaknya mengeluhkan rasa sakit, hingga akhirnya terungkap kejadian memilukan yang menimpa sang anak.
Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Belawan, AKP Riffi Noor Faizal, menjelaskan bahwa korban merasakan sakit saat buang air kecil, yang membuat ibunya curiga dan menanyakan penyebabnya. Setelah didesak, korban mengungkapkan bahwa sebelumnya tersangka telah memasukkan jarinya ke kemaluannya.
Keluarga korban segera melaporkan kejadian ini ke Polres Pelabuhan Belawan. Pihak kepolisian pun bergerak melakukan penyelidikan hingga akhirnya menangkap pelaku pada 1 Maret 2025 untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut (news.detik.com, 14/03/2025).
Tragisnya, kasus serupa tidak hanya terjadi di Medan. Di Kabupaten Ngada, seorang eks Kapolres, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, diduga melakukan pelecehan seksual terhadap empat korban, tiga di antaranya adalah anak di bawah umur (news.detik.com, 05/03/2025).
Fenomena ini mencerminkan betapa buruknya kondisi perlindungan terhadap anak saat ini. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru kehilangan perannya. Bahkan, orang-orang yang diharapkan menjadi pelindung malah berbalik menjadi pelaku. Akibatnya, korban tidak hanya mengalami luka fisik, seperti rasa nyeri atau pendarahan, tetapi juga luka batin yang dapat membekas seumur hidup. Ketakutan yang berlebihan, menarik diri dari lingkungan, serta perubahan perilaku menjadi dampak psikologis yang harus mereka tanggung.
Parahnya, kejahatan seksual terhadap anak bukanlah kasus yang langka. Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024, sekitar 50,78 persen atau 11,5 juta anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Kekerasan yang dialami mencakup kekerasan fisik, emosional, hingga seksual (antaranews.com, 07/10/2025).
Angka ini seharusnya menjadi alarm bagi para pemangku kebijakan. Apalagi, data tersebut hanya mencakup kasus yang tercatat. Sangat mungkin jumlah kejadian yang tidak terlaporkan jauh lebih banyak. Namun, mengapa kejahatan semacam ini terus berulang? Salah satu faktor utamanya adalah longgarnya hukum bagi para pelaku kejahatan seksual. Hukuman yang tidak memberi efek jera menyebabkan kasus seperti ini terus terjadi.
Lebih dari itu, lemahnya sistem hukum juga terlihat dalam lambannya respons aparat penegak hukum. Mereka baru bertindak ketika ada laporan masuk, dan sering kali prosesnya terhambat oleh birokrasi yang panjang. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang ada tidak mampu memberikan perlindungan nyata bagi masyarakat. Para pejabat lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada keselamatan rakyatnya. Semua ini bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi dari diterapkannya sistem sekuler yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan.
Sekulerisme yang memisahkan agama dari aturan hidup telah membawa dampak besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. Dalam sistem ini, tidak ada batasan moral yang jelas. Manusia bebas melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan halal dan haram. Akibatnya, naluri dan akal manusia menjadi rusak, sehingga banyak yang melakukan perbuatan keji tanpa rasa bersalah.
Sebagai masyarakat, kita tentu membutuhkan sistem yang benar-benar mampu melindungi dan menjaga kita dari tindakan kriminal semacam ini. Hanya dengan sistem Islam, keamanan dan perlindungan yang sejati dapat terwujud. Islam menganggap generasi sebagai aset yang harus dijaga, dibina, dan diberdayakan dengan maksimal.
Islam juga memberikan solusi yang komprehensif dalam menanggulangi kejahatan seksual. Salah satunya adalah penerapan sanksi tegas terhadap pelaku kriminal agar tercipta keadilan hukum. Dalam Islam, sistem sanksi memiliki dua fungsi utama, yaitu zawajir (pencegah), agar orang lain tidak berani melakukan kejahatan serupa dan jawabir (penebus), yang jika dijatuhkan kepada pelaku, dapat menjadi penebus dosa mereka di akhirat.
Sejarah telah mencatat bagaimana Islam menegakkan keadilan dalam kasus-kasus seperti ini. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, seorang perempuan melaporkan bahwa dirinya diperkosa di malam hari. Setelah dilakukan penyelidikan, Khalifah Umar menemukan bukti bahwa perempuan itu benar-benar dipaksa. Akibatnya, pelaku dijatuhi hukuman mati karena perbuatannya dikategorikan sebagai zina paksa dan tindak kriminal berat. Keputusan ini menunjukkan bahwa Islam memberikan perlindungan penuh bagi korban dan menegakkan hukum secara adil. Rasulullah pun bersabda:
“Jika seseorang melakukan zina atau mencuri, maka tegakkan hukum Allah atasnya. Jika ia bertaubat sebelum kalian menangkapnya, maka terimalah taubatnya.” (h.r. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dengan sistem hukum seperti ini, kejahatan seksual tidak akan menjadi fenomena yang terus berulang. Sebaliknya, pelaku akan berpikir seribu kali sebelum melakukan tindakan keji tersebut. Inilah solusi nyata yang mampu menjamin keamanan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. ***