Oleh: Aulia Zuriyati (Aktivis Muslimah)
“Seorang anak bukan hanya membutuhkan perlindungan, tetapi juga cinta yang tulus dan lingkungan yang aman, bukan luka dari tangan yang seharusnya menjaga.”
Medan, Perpek Media – Pada April 2025, sebuah tragedi yang memilukan mengguncang publik Indonesia, khususnya di Garut, Jawa Barat. Seorang anak perempuan berusia 5 tahun menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandungnya (YMA), pamannya (YMU), dan kakeknya (ES). Kejadian ini terbongkar saat sang anak mengeluhkan rasa sakit pada bagian sensitif tubuhnya kepada seorang tetangga. Berkat perhatian dan kepedulian tetangga tersebut, anak tersebut dibawa ke Puskesmas dan dilakukan visum. Hasil visum menguatkan dugaan bahwa sang anak telah menjadi korban kekerasan seksual. Ketiga pelaku kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan diancam hukuman pidana lebih dari 15 tahun penjara berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak (detik.com, 17/4/2024).
Tragedi ini bukan hanya mengejutkan karena kekejamannya, tetapi juga menggugah kesadaran kita akan betapa rapuhnya institusi keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak. Keluarga adalah fondasi pertama dalam pembentukan karakter anak. Namun, dalam kasus ini, institusi keluarga justru menjadi pengkhianat terbesar bagi sang anak. Bagaimana bisa, di dalam keluarga, yang seharusnya menjadi tempat cinta, kasih sayang, dan perlindungan, justru terjadi pelecehan yang mengubah hidup anak itu selamanya? Anak yang masih belum memahami dunia harus menanggung luka yang akan membekas seumur hidupnya.
Lebih parah lagi, pelaku kekerasan ini bukan orang asing, melainkan mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melindungi. Ayah, paman, dan kakek adalah figur yang seharusnya memberi rasa aman, bukan justru menjadi sumber bahaya. Ini menunjukkan sebuah kegagalan moral yang sangat dalam dalam struktur keluarga yang saat ini kian rapuh.
Kasus ini memang bukan yang pertama. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kekerasan seksual terhadap anak meningkat setiap tahunnya. Dari sini kita bisa melihat bagaimana sistem yang ada gagal memberikan perlindungan yang memadai bagi anak-anak. Padahal, keluarga seharusnya menjadi tempat yang melindungi, mendidik, dan memberikan rasa aman. Namun, apa yang terjadi? Keluarga justru menjadi tempat yang penuh bahaya. Ini bukan hanya soal perilaku individu yang menyimpang, tetapi mencerminkan masalah sistemik yang mendalam. Sistem yang ada justru membuka ruang bagi pelaku untuk melancarkan aksi kekerasan bahkan di tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi anak-anak.
Kekerasan terhadap anak ini tak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan sekuler yang mendominasi Indonesia saat ini. Sekularisme, dengan memisahkan agama dari kehidupan, telah mereduksi nilai-nilai moral dan spiritual dalam masyarakat. Ketika agama tidak lagi menjadi landasan hidup, masyarakat kehilangan pedoman yang seharusnya menuntun mereka berbuat baik. Individualisme dan hedonisme, sebagai produk dari sistem sekuler, mengajarkan masyarakat untuk mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepedulian terhadap sesama, termasuk terhadap anak-anak yang seharusnya dijaga.
Namun, meski pelaku telah ditangkap, hukuman yang dijatuhkan belum tentu memberikan efek jera. Sistem hukum saat ini lebih banyak bertumpu pada hukuman yang bersifat administratif, bukan pada upaya preventif maupun pada penegakan hukum yang berbasis pada prinsip moralitas dan ketakwaan. Dalam Islam, negara bukan hanya berfungsi sebagai pengatur, melainkan sebagai penjaga yang menegakkan hukum untuk melindungi seluruh rakyatnya.
Hukum Islam memberikan panduan yang tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual. Dalam kasus zina muhshan (pelaku yang sudah menikah), hukumannya adalah rajam sampai mati. Sedangkan bagi pelaku yang belum menikah, hukumannya adalah 100 kali cambukan dan pengasingan selama satu tahun. Dalam kasus pemerkosaan, pelaku dapat dijatuhi hukuman hudud, bahkan qisas jika menyebabkan luka atau kematian. Hukum-hukum ini bukan hanya untuk menghukum, tetapi memberikan efek jera, menjaga kesucian masyarakat, dan menebarkan rasa aman di tengah-tengah umat.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (h.r. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa orang tua memikul tanggung jawab besar dalam mendidik dan melindungi anak-anaknya. Jika mereka justru menjadi pelaku kejahatan, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah besar yang Allah titipkan kepada mereka.
Kita harus mengakui bahwa sistem yang ada sekarang gagal memberikan solusi yang memadai untuk masalah ini. Hukum yang diterapkan sering kali tidak cukup untuk menghentikan pelaku kekerasan, dan tidak ada langkah preventif yang cukup kuat untuk melindungi anak-anak kita. Ini adalah saat bagi kita untuk merenung: apakah sistem yang ada saat ini benar-benar mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi umat, atau justru membiarkan kejahatan merajalela?
Semoga peristiwa ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap anak-anak di sekitar kita, dan lebih peka terhadap penderitaan mereka. Mari kita kembali kepada nilai-nilai agama yang menjadi fondasi sejati dalam membangun keluarga dan masyarakat. Dengan begitu, keluarga akan kembali menjadi tempat yang aman, penuh kasih sayang, dan mencetak generasi yang sehat lahir dan batin, Wallahualam bissawab. (***)